
Bandung Side, Desa Cipinang – Ranti Silvi Agustin siswa SMA kelas 1 di Kabupaten Bandung sangat mengidolakan Ivan Gunawan, desainer kondang tanah air yang selalu menginspirasi.
Ranti sapaan akrab dari Ranti Silvi Agustin begitu nama lengkap disandangnya saat lahir buah kasih kedua orang tuanya tinggal di Kampung Lamping, Desa Cipinang, Cimaung daerah sejuk di kaki Gunung Malabar.
Ranti salah satu penyandang disabilitas dari kurang lebih 200an anak di Kecamatan Cimaung yang beruntung mendapatkan manfaat dari sekolah inklusi yang di inisiasi oleh Save The Children.
Sekolah inklusi menjadi pilihan dikarenakan di Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak dapat dijangkau oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan ketersediaannya di Kecamatan Cimaung.
Sehingga inisiasi sekolah inklusi menjadi solusi di mana anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dengan anak-anak reguler lainnya.
Sekolah inklusi bisa menjadi pilihan yang baik bagi AKB agar bisa mendapatkan kesempatan mengakses pendidikan untuk belajar, tumbuh, dan berkembang dengan baik, terlepas dari keterbatasan yang mereka miliki.

“Alhamdulillah, Ranti sejak kecil sudah memperlihatkan kemandiriannya dan mendapatkan pendidikan dari mulai TK hingga SMA sekarang,” kata Rini, Ibunda tercinta Ranti.
Ranti yang lahir prematur dengan bobot dibawah 1 kg memiliki disabilitas fisik atau keterbatasan fisik dengan tidak adanya lengan kanan dan lambatnya pertumbuhan, tambah Rini.
“Saat pandemi Covid-19 ada perubahan dalam pembelajaran yaitu dengan zoom dari sekolah, Ranti agak mengalami kesulitan dengan tugas-tugas yang dibebankan dari sekolah,” ujar Rini bercerita.
Ranti secara fisik memang tidak sama dengan anak normal seusianya, dengan menggunakan tangan kiri harus mengumpulkan tugas harian berupa rangkuman tulis tangan yang harus dikumpulkan saat itu.
Hal tersebut sempat membuat Ranti kewalahan, porsi tugas bisa 2 kali lipat saat belajar melalui daring sehingga kadang telat mengumpulkan tugas.
Agar tidak membuat lebih stress dengan tugas yang banyak tersebut, Ranti diarahkan agar lebih santai, bisa bermain dulu, bisa nonton tivi dulu agar Ranti tidak tertekan.
“Tahapan penyesuaian Ranti saat sekolah dasar dapat dilalui dan dapat mengikuti setiap pelajaran tatap muka. Dengan pertemanan dalam satu kelas tidak ada masalah karena banyak anak tetangga yang teman satu kelas dan tahu kondisi Ranti,” kisah Rini.
Namun disaat SMP, Ranti sudah mulai harus menyesuaikan dengan lingkungan sosial yang lebih, teman SMP nya hanya beberapa dari teman SD dan itu pun terpisah kelas. Jadi Ranti memiliki teman baru yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
“Pembelajaran di SMP Ranti tidak mengalami kesulitan dan guru-guru dapat mengetahui kondisi Ranti. Saat pelajaran olah raga, guru hanya menyarankan melihat saja, karena Ranti secara fisik masih belum bisa menjalani aktifitas olah raga yang tampak ekstrem,” jelas Rini.
Pernah Ranti tidak sengaja tersenggol sesama temannya dan akhirnya jatuh, dari pengalaman itu Ranti disarankan untuk musti hati-hati menjaga keseimbangan jika dikerumunan dan beraktifitas di tempat terbuka.

Sejak usia Ranti menginjak 5 tahun sudah menunjukkan kemandirian dengan meminta sekolah di Taman Kanak-kanak (TK), meskipun waktu itu belum bisa jalan.
Pelajaran melipat, mewarnai, menggunting, membuat origami bisa sendirinya tanpa mengeluh, tanpa minta bantuan orang lain, tanpa mengeluh dan orang tua tidak mengajari.
Saat Ranti usia 1 tahun dalam tahapan belajar bicara, ada pertanyaan cukup menyesakkan dada, saat melihat acara tivi dirumah.
“Mama, saya anak siapa sich…? Kok itu ada tangannya”. Sebagai orang tua menjawabnya juga harus bijak, sesuai dengan usia anak bahwa Ranti anak istimewa yang dititipkan Allah ke Mama,” ujar Rini.
Ranti saat memasuki SMP di lingkungan pertemanan sekolah sudah mengalami proses sosial diusia remaja. Usia tahapan mencari jati diri membuat Ranti lebih mewaspadai dan bisa menarik diri dari lingkungan pertemanan yang negatif.
“Banyak teman Ranti kalau bermain sudah mengikuti touring, jalan-jalan menggunakan sepeda motor dengan cowok-cowok. Seperti pacaran-pacaran begitulah,” kata Ranti.
Tapi Ranti tidak mau, karena lebih nyaman dirumah kok, tambah Ranti.
“Ada juga teman Ranti yang hamil duluan saat sekolah karena pergaulan bebas itu, ternyata setelah tanya-tanya salah satu alasannya mereka kurang dekat dengan orang tua,” kata Ranti menjelaskan dengan lugas.
Bisa jadi karena faktor kedua orang tuanya yang sibuk, jadi anak tidak merasakan nyaman dirumah, akhirnya cari perhatian diluar rumah, tambah Ranti.
“Lebih baik Ranti menyibukkan diri mengikuti ekstra kurikuler Karya Ilmiah disekolah dan mengikuti Pecinta Alam untuk menambah wawasan dan mencintai lingkungan sekitar,” kata Ranti.

Perjalanan panjang remaja penyandang disabilitas, Ranti yang menginginkan pemenuhan kebutuhan pendidikan dapat diakses tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Keinginan kuat Ranti akan pilihan masuk disekolah umum agar dengan luas memperoleh pendidikan seluasnya, karena saran orang tua untuk masuk ke SLB mendapat penolakan dari Ranti.
Ranti bisa melihat, mendengar dan berbicara kenapa harus masuk ke SLB ? begitu sekiranya penolakan Ranti meskipun memiliki kekurangan fisik.
Ranti harus bisa menyesuaikan diri baik dengan fisiknya, lingkungan sosial dan motivasi dari orang tua tercintanya yang tidak henti mencurahkan kasih dan sayang.
Hingga suatu ketika saat bersama Mama dipasar untuk membelikan Ranti pakaian mengalami perdebatan serius dalam memilih bahan, model dan fungsi.
Ranti merasa baju yang sekarang dibuat belum bisa berdamai dengan anak penyandang disabilitas, pemilihan bahan yang berat, model letak kancing dan resliting mendorongnya untuk bisa menciptakan baju khusus untuk kaum disabilitas.
“Saat mau memilih sekolah lanjutan, Ranti ingin masuk SMK jurusan busana, tapi lokasi sekolannya jauh sekali, apalagi di masa pandemi akan lebih merepotkan orang tua karena tidak bisa mendampingi,” kata Ranti bercerita.
Jadi keputusannya agar tidak tertinggal pendidikannya ya nerusin ke SMA dulu, karena nanti kalau mau meneruskan hobbynya dibidang busana bisa dijalani dengan kursus, tambah Ranti.
Di usia remaja seperti Ranti, usia pencarian jati diri yang sangat rawan akan hal negatif yang dapat menjadi brand image dan selalu dikenang dalam memori akan hal yang dilihat, didengar dan dibicarakan.
“Kedekatan orang tua diperlukan oleh anak remaja, agar bila bicara soal cita-cita agar orang tua bisa mengarahkan anak didalam lingkungan yang diinginkan anak-anak dan memberi masukan,” kata Ranti.

“Jangan lagi ada mitos-mitos yang salah karena pendapat orang banyak mengakuinya. Ada hal yang perlu didekatkan pada anak disabilitas agar dapat kesempatan dimanusiakan dan yang utama mereka juga punya masa depan, sama dengan yang normal,” tegas Ranti.
Orang tua harusnya menjadi orang pertama yang dicari oleh anak, bercerita apapun harusnya pada orang tua. Masih ada orang tua yang bila dicurhatin anak sudah langsung marah yang akhirnya anak sudah tidak mau bercerita lagi bila memendam sesuatu, lanjut Ranti.
“Membangun cita-cita pada anak, membangun masa depan anak baik dari hobby maupun dari penggalian potensi pada anak, imajinasi dan khayalan anak harusnya disiapkan sejak dini oleh orang tua. Jangan acuh saja kepada anak, karena mereka juga punya masa depan, ucap Ranti.
“Cita-cita ingin jadi desaigner karena Ranti suka bekerja dibelakang layar dan termasuk orang yang pemalu. Tapi karena dorongan kuat dari keinginan juga support orang tua juga keluarga sepertinya bagus bila karyanya nanti bisa dipakai oleh anak berkebutuhan khusus seperti Ranti,” ungkap Ranti.
Baju yang fleksibel dalam menerapkan aksesoris seperti kancing agar tidak susah membuka saat Ranti ambil air wudhu masih belum ada di pasar. Akhirnya kembali lagi menggantungkan ke orang lain untuk membukanya.
Karya Ivan Gunawan menjadi inspirasi Ranti saat mencoretkan gambar-gambar baju di kertas gambarnya, Simple dan tidak aneh-aneh dalam pemilihan bahan.
“Keinginan membuat fashion yang senyamannya seperti karya Kak Ivan Gunawan, selain itu ingin membuka lapangan kerja untuk teman-teman disabilitas yang tentunya memiliki keraguan saat menentukan masa depan,” jelas Ranti.
“Jadi dibutuhkan wadah untuk mereka agar mendapatkan kesempatan jadi apapun dalam membangun masa depan anak disabilitas, seperti yang Ranti cita-citakan,” pungkas Ranti Silvi Agustin.***