Bukti Batas Lahan Tidak Ada Upaya Konstatering Gagal Maning

Bukti Batas Lahan Tidak Ada Upaya Konstatering Gagal Maning

Bandung Side, Kota Baru Parahyangan – Bukti batas lahan yang diklaim sebagai milik ahli waris Syekh Abdulrahman bin Abdul Hasan, upaya konstatering dengan cara demo gagal maning dilakukan.

Terkait aksi demo yang bertujuan konstatering atau pengecekan titik objek sengketa tanah oleh ahli waris dan kuasa hukumnya di kawasan Kota Baru Parahyangan batal dilakukan, Senin (6/5/2024) lalu mengalami kegagalan lagi.

Hal tersebut dilakukan secara sepihak dan mendadak disaat kuasa hukum PT. Belaputra Intiland dari Kantor Hukum Dr. Roely Panggabean SH, MH sedang berada di Bali mendampingi kliennya.

Gokkan Titus Timbul Tampubolon, Managing Partner PT Belaputra Intiland memberi tanggapan saat digelarnya konferensi pers di The Hive Bumi Pancasona jl Gelap Nyawang, Kota Baru Parahyangan,Kab.Bandung Barat, Senin, 13 Mei 2024.

“Saat eksekusi pada tahun 2023 dan 2024 sudah pernah dilakukan, tapi kenyataannya pihak ahli waris Syekh Abdulrahman bin Abdul Hasan tidak bisa menunjukkan bukti batas lahan atau tanah yang diklaimnya,” ujar Gokkan Titus Timbul Tampubolon.

Saat adanya demo yang bertujuan konstatering atau pengecekan titik objek sengketa tanah da hari Senin , 6 Mei 2024 lalu sangat disayangkan, dengan tuduhan pihak kuasa hukum Kota Baru Parahyangan tidak koperatif.

“Kota Baru Parahyangan menanggapi tuduhan Penetapan Pengadilan no:305/1972/c/Bdg/ tanggal 25 April 2024 menyatakan penetapan pengadilan nomor no:305/1972/c/Bdg/ tanggal 25 September 2008 dinyatakan palsu, dan sudah menyarankan agar dilaporkan saja pada pihak kepolisian,” kata Titus Tampubolon.

Titus juga mengatakan bahwa atas Konstatering pada tanggal 24 April 2024 lalu, ia telah mengajukan keberatan, karena di dalam udang-udang sudah disebut bahwa jika tanah ini sudah dimiliki oleh pihak ke tiga maka mereka harus mengajukan gugatan baru.

Titus kembali menegaskan bahwa lokasi Tatar Pitaloka bukanlah lokasi tanah yang disengketakan, ahli waris tidak bisa menunjukan data-data soal tanah yang disengkatakan mereka tersebut.

“Berdasarkan ketetapan tangal 25 September 2008, sudah dipastikan bukan di situ tempatnya. Mereka juga tidak bisa menunjukan bukti sah atas batas lahan atau tanah maupun data lainnya,” jelas Gokkan Titus Timbul Tampubolon.

Cerita Panjang Ahli Waris Syekh Abdulrahman bin Abdul Hasan
PT Belaputra Intiland, melalui Ani menerangkan silsilah tanah, yang dibeli oleh pihaknya memang dulunya dimiliki oleh Syeik Abdulrahman.

Syeik Abdulrahman dul adalah tuan tanah dan diakui Ani memiliki Istri yang banyak. Sementara PT Belaputra Intiland membeli tanah tersebut dari salahsatu keturunan Syeik Abdulrahman dan yang menjual tanah tersebut, juga digugat oleh keturunannya yang lainnya.

“Syeik Abdulrahman ini sudah meninggal sekitar tahun 1919. Abdulrahman istrinya banyak, keturunannya pun juga banyak. Nah yang mempermasalahkan tanah ini adalah turunan ke empat,” kata Ani.

“Kasus ini sebenarnya bermula di tahun 1920-an antara anak-anak Syeik Abdulrahman, mereka itu saling menjual tanah yang dimiliki Syeik Abdulrahman. Bersamaan dengan itu, Istri-istrinya dan saudaranya juga menjual tanah. Menjual karena asetnya banyak. Nah karena mereka saling menjual itu lah akhirnya, mereka juga saling menggugat sesama ahli warisnya,” jelas Ani.

Ani menjelaskan bahwa tanah yang dibangun di Tatar Pitaloka itu adalah milik istri ketiga. Namun dalam perjalannya istri ketiga ini digugat pula oleh anak-anak istri Syeik Abdulrahman yang lain. Bahkan, kata Ani, Istri ke empat dan kelima serta keturunannya pun ikut menggugat.

“Salah satu ketetapan Mahkamah Agung atas sengketa tersebut, semua tanah leluhur itu dibagikan ke ahli waris yang berjumlah enam Kelompok. Tapi saat ketetapan itu diputuskan sebenarnya asetnya sudah tidak ada, karena sudah terjual,” ungkap Ani.

Ani mengatakan bahkan sejak tahun 1962 tanah-tanah milik Syeik Abdulrahman itu sudah dimiliki oleh masyarakat dengan bukti kepemilikan, sehingga ketika akan dieksekusi sesuai keputusan Mahkamah Agung itu, tanahnya sudah tidak ada karena sudah dimiliki masyarakat bahkan sampai ratusan hektar dengan kondisi terpecah-pecah.

“Puluhan tahun kemudian kami hadir. Kami sendiri tidak pernah membeli langsung tanah dari ahli waris. Secara pasti kita juga tidak tahu batas-batas tanah mereka yang dikatakan batasnya Sungai. Mungkin sudah jadi genangan Saguling ya,” jelas Ani.

Ani mengatakan itu sebabnya dengan pembelian tanah dari warga yang dilengkapi dengan bukti kepemilikan maka dibangunlah Tatar Pitaloka yang saat ini juga setiap pembeli rumahnya sudah dilengkapi dengan sertifikat tanah.

Sementara itu, menanggapi demo Ryan Brasali, Direktur Kota Baru Parahyangan mengatakan bahwa pihak security menutup pintu Tatar Pitaloka dalam posisi melindungi warga yang ada di Kota Baru Parahyangan,sehingga warga tidak perlu takut akan kejadian kemaren karena warga memiliki dokumen kepemilikan yang sah.***

loading...
Facebook Comments

Tinggalkan Balasan