Salah Kaprah Memahami Pancasila Dapat Menghilangkan Jati Diri Bangsa

Salah Kaprah Memahami Pancasila

Bandung Side, Setra Duta – Salah kaprah bisa terjadi saat memahami sesuatu, apalagi memonopoli tafsir Pancasila untuk sebuah wacana kepentingan sebuah kelompok akan menghilangkan jati diri bangsa.

Hal tersebut terungkap saat digelarnya memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2023 di NuArt Sculpture Park, jl. Setra Duta Raya L 6 Ciwaruga Bandung.

Memperingati Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni di NuArt Sculpture Park didukung oleh Aliansi Bandung Cinta Damai (ABCD), Manusia Welas Asih (Mawas Center), Kusala Mitta (Sahabat Baik untuk Semua) diisi dengan menayangkan film Garuda Wisnu Kencana dan Teaser Ibu Kota Negara (IKN) karya Nyoman Nuarta dan Pemaparan Nilai Pancasila oleh Furqan AMC).

Hari Kelahiran Pancasila yang diikuti oleh komunitas, pelajar SMA dan guru, organ relawan, Ibu-ibu dari beberapa kelurahan, forum gereja, budayawan dan seniman juga awak Media Bandung untuk meluruskan kembali dalam memahami Pancasila sesuai dengan makna nilai-nilai yang disusun oleh Pendiri Bangsa biar tidak salah kaprah.

Dalam pemaparannya, Furqan AMC menjelaskan cara terbaik untuk memahami Pancasila adalah dengan mengenal nilai-nilainya yang disusun oleh para pendiri bangsa sedemikian rupa pada Lambang Negara Garuda Pancasila.

“Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila, atau yang lebih dikenal Garuda Pancasila, adalah rujukan paling representatif dan otoritatif untuk kita memahami Pancasila,” tegas Furqan AMC, yang juga merupakan Sekjen Geostrategy Study Club (GSC) Indonesia ini.

Ada 3 komponen penting dan utama yang berasal dari Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila yang mengalungkan perisai dengan rantai dilehernya, mengawali dalam memahami Pancasila agar tidak salah kaprah, tambah Furqan.

Komponen Pertama, Figur Burung Elang Rajawali Garuda Pancasila. Hampir semua kita sudah hafal, secara simbolis pada Burung Garuda terdapat 17 helai bulu sayap Garuda, 8 helai bulu ekor Garuda, 19 helai bulu kaki bagian bawah Garuda dan 45 helai bulu bagian leher Garuda sebagai penanda bahwa Negara Indonesia telah merdeka pada 17 (tanggal) – 8 (bulan Agustus) – 19 (seribu sembilan ratus) – 45 (empat puluh lima simbol tahun) adalah perlambang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Komponen Kedua, tulisan Bhinneka Tunggal Ika pada selembar pita putih yang ada dalam genggaman kaki Burung Garuda adalah semboyan yang mengajarkan kepada kita bahwa walau kita beraneka ragam, pada hakekatnya Bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan. Sebuah filosofi luar biasa tentang persatuan dan toleransi dalam perbedaan yang diwariskan oleh Mpu Tantular dalam kitabnya Sutasoma 7 abad silam. Bersatu dalam Keragaman dan Beragam dalam Persatuan.

Komponen Ketiga, yang sering abai dipelajari dan dipahami oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Perisai di dada Burung Garuda, yang di dalamnya terdapat simbologi Sila-Sila Pancasila, yang tersusun dalam konfigurasi yang harmoni dan dinamis. Tanpa perisai tersebut Garuda hanyalah Garuda. Dengan adanya perisai tersebut maka Burung Garuda menjadi Garuda Pancasila. Pada perisai tersebut tersusun 5 Sila dari Pancasila.

Sila Pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Umumnya orang melihat bintang sebagai simbol Sila Pertama, namun Muhammad Natsir yang mengusulkan Lambang Sila Pertama ini, menyebutnya dengan Cahaya. Sebuah penggambaran spritualitas, Cahaya Ilahi, Cahaya Tuhan ada di mana-mana, meliputi segala sesuatu.

Sila Kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Mayoritas masyarakat kita tak menyadarai bahwa lambang Rantai pada Sila Kedua ini adalah Rantai Petak Lingkar. Diusulkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. Diadopsi dari kalung rantai yang biasa dipakai oleh Suku Dayak yang menggambarkan regenerasi. Petak melambangkan Laki-laki dan Lingkar melambangkan Perempuan.

Jadi dalam konstitusi kita, Laki-laki dan Perempuan kedudukannya sudah sederajat. Di banyak bangsa lainnya, kesetaraan gender mungkin baru jadi wacana, tapi pada Bangsa Indonesia sudah mewujud sebagai Nilai pada Dasar Negara. Karena itu sejak dari pemilu pertama di Indonesia, perempuan sudah punya hak suara. Kontras dengan Amerika Serikat, di mana perempuan baru punya hak suara 70 tahun setelah pemilu pertama mereka selenggarakan.

Sila Ketiga, “Persatuan Indonesia”. Umumnya orang menyebut simbol Pohon Beringin sebagai lambang Sila Ketiga. Namun yang mengusulkannya Raden Mas Ngabehi Purbatjaraka lebih spesifik menyebutnya Pohon Astana. Pohon Astana biasanya ditanam di alun-alun dengan posisi di depan keraton kerajaan di masa lalu, tempat di mana raja dan rakyat berkumpul membicarakan persoalan kehidupan bersama. Maknanya sangat mendalam jangan salah kaprah, yakni Kekuasaan harus menyatu dengan Rakyat. Penguasa tidak boleh berjarak dengan Rakyat. Penguasa harus hadir di tengah-tengah Rakyat, harus mengayomi Rakyat.

Sila Keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Dilambangkan dengan Kepala Banteng. Diusulkan oleh Muhammad Yamin. Simbol kepala Banteng melambangkan Tenaga Rakyat yang ulet dan tekun. Tenaga Rakyat tersebut harus disusun dengan cara musyawarah dengan metode perwakilan hal tersebut menginterprestasikan pada Demokrasi Pancasila.

Demokrasi Pancasila tidak salah kaprah yakni bukan sekedar One Man One Vote, bukan sekedar menang-menangan, bukan sekedar adu banyak, tidak saling menegasikan. Tapi Demokrasi yang tidak salah kaprah yakni mengedepankan hikmah dan kebijaksanaan, yang mayoritas melindungi yang minoritas, yang banyak harus merangkul yang sedikit.

Sejak ribuan tahun lalu, masyarakat di Nusantara hidup dalam harmoni dan kebersamaan. Sriwijaya dan Majapahit, dua kerajaan besar di Nusantara tidak dibangun dengan penaklukan (invasi), melainkan hadir sebagai pengayom dalam peradaban bahari bagi ratusan kerajaan lainnya yang ada di Nusantara.

Ribuan bahasa, ribuan suku dan ribuan bangsa bersatu bukan dengan paham Chauvinisme, yaitu sikap fanatisme terhadap suatu keyakinan atau idealisme tertentu. Dilansir dari Encyclo.co.uk chauvinisme dimaknai sebagai aksi kesetiaan berlebihan selama masa perang untuk membela bangsanya sendiri, contoh bangga sebagai Bangsa Arya.

Sila Kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Ki Hajar Dewantara mengusulkan agar Sila Kelima ini dilambangkan dengan Padi dan Kapas. Sebagai lambang Kemakmuran dan Kesejahteraan. Tujuan bernegara haruslah bermuara pada Kemakmuran dan Kesejahteraan didistribusikan pada seluruh rakyat Indonesia. Setiap warga negara harus dipenuhi haknya oleh negara, tidak boleh ada satupun golongan/ pihak yang terabaikan.

“Kelima Sila Dasar Negara kita tersebut disusun dengan harmoni pada perisai yang tergantung pada Dada Garuda,” ujar Furqan AMC.

Terdapat dua perisai, yaitu perisai luar yang berwarna merah, putih – merah, putih di mana tersusun sila dua, tiga, empat dan lima, diikat oleh perisai dalam yang berwarna hitam di mana terdapat Sila Pertama.

Perisai inilah yang akan menjadi Pandu bagi kita bagaimana membaca dan memahami Pancasila.

Perisai luar yang berwarna merah, putih – merah, putih menandakan urutan dan arah membaca Sila-sila Pancasila. Sila Kedua dengan latar warna merah, Sila Ketiga dengan latar warna putih, Sila Keempat dengan latar warna merah, dan Sila Kelima dengan latar warna putih menunjukkan kepada kita bahwa Pancasila harus dibaca melingkar ke kiri berlawanan arah jarum jam.

Pancasila tidak tersusun hirarkis dan linier tapi dinamis melingkar ke kiri di mana di tengahnya terdapat sila pertama dengan latar hitam pada perisai dalam. Di balik gerak melingkar tersebut terkandung makna yang egaliter, dinamis dan dialektik, jauh dari struktur hirarkis, linier dan positivistik. Karena itu tak ada tempat bagi otoritarianime dalam masyarakat nusantara.

Adapun putaran melingkar ke kiri melawan arah jarum jam melambangkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, sekaligus menyadarkan kita akan asal-usul.

Gerak melingkar ini dalam istilah nusantara dikenal sebagai “Gilir – Balik”, sebuah konsep yang diadopsi dari suku Dayak Melayu. Dalam astronomi kita ketahui semua bintang, planet dan satelit berotasi melingkar pada orbitnya. Dalam peradaban Islam dikenal dengan istilah “Thawaf”.

Dalam susunan lambang negara garuda pancasila, para pendiri Bangsa mengajarkan kepada kita bahwa dalam kehidupan berbangsa bernegara dalam taman raya internasional, serta dalam kehidupan berdemokrasi mewujudkan keadilan ekonomi, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, semuanya tidak terlepas dari spiritualitas, simpul yang di tengah perisai yang mengikat semua sila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Semua sila tidak boleh terpisah dari sila Ketuhanan. Sila Ketuhanan mengikat semua sila. Sila Ketuhanan adalah nafas dari semua sila, jiwa dari semua sila.

Begitu indahnya, tak ada dikotomi antara kebangsaan dan spiritualitas, semua menyatu dalam harmoni. Kehidupan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi menyatu harmoni dengan spiritualitas ketuhanan yang maha esa.

Ketuhanan yang Maha Esa itupun tidak boleh berhenti hanya semata nilai, tapi harus mewujud dalam tingkah laku, dalam akhlak, dalam budaya.

Hablummninallah dan hablumminannas harus satu paket, Hubungan dengan Tuhan dan Hubungan dengan Sesama Manusia tak bisa dipisahkan satu sama lain.

“Berketuhanan haruslah Berkebudayaan. Apa artinya Bertuhan kalau hanya saling mencaci, saling menafikkan, saling menegasikan. Apa artinya Bertuhan kalau tidak saling mencintai Sesama. Apa artinya Bertuhan kalau kita tidak saling menyayangi, saling menghargai dan saling mengayomi. Apa artinya Bertuhan kalau perilakunya intoleran dan korupsi,” tegas Furqan AMC.

Sekali lagi, “Berketuhanan haruslah Berkebudyaan”, tercermin dalam praktek Gotong Royong dalam semangat Solidaritas.

“Terakhir, di tengah-tengah perisai terdapat garis horizontal hitam yang melambangkan Indonesia adalah bangsa yang berada pada orbit khatulistiwa. Dengan kesadaran bahari dan pengetahuan astronomi, masyarakat nusantara mengarungi samudra sejak ribuan tahun lalu. Nusantara adalah masyarakat maritim terbesar di dunia,” pungkas Furqan.

Memahami Pancasila saat Hari Kelahiran Pancasila dengan menggali nilai-nilai yang ada di bumi Nusantara melalui perjalanan sejarah bangsa tidak boleh dilupakan agar Jati Diri Bangsa tidak hilang agar tidak dirong-rong oleh paham-paham yang Chauvinisme seperti Bangsa Barat.***

Tinggalkan Balasan