Bandung Side, Bukit Pakar – Proyek seni lukis neo-dekolase Dadang Sudrajat menempatkan secara dekat praktIk melukis dengan pemikiran filsafat, khususnya tradisi filsafat Islam yang disebut mistisisme Islam (tasawuf). Cara ini berarti menghubungkan praktik seni rupa dan agama (Islam). Seni dan agama sering kali dianggap sebagai dua jalan yang berpisah, bahkan tak jarang keduanya dipahami bertentangan.
Namun, ketika keduanya mampu beriringan maka hanya ada satu jalan yang terlalui yang disebut: spiritualitas. Seni dan agama sama-sama memiliki jalan spiritualitas. Dalam tradisi seni rupa modern, perihal spiritualitas dikenali secara mendalam melalui alur perkembangan seni rupa abstrak. Pada tradisi agama (Islam), praktik kesadaran spiritual dihayati terutama melalui tradisi tasawuf (sufisme). Sebagaimana seni, tradisi sufisme pun mencari ungkapan kreatif untuk mengingat dan menyerukan pesan Ilahi karena pesan yang suci itu berada dalam keadaan tersembunyi di dalam setiap bentuk. Dadang Sudrajat menghubungkan kedua tradisi tersebut melalui lukisan-lukisan abstraknya.
Seni lukis abstrak tentu tak bermaksud menggambarkan realitas tetapi membangun hubungannya terhadap realitas hidup melalui kerangka penghayatan hukum dan prinsip kelangsungan hidup itu sendiri. Sudrajat memahami subjek diri manusia sebagai ‘pusat’ makna realitas dengan caranya yang khas. Proyek neo-dekolase memahami bidang lukisan sebagaimana Sudrajat memahami manusia sebagai potensi dari dua segi yang jadi satu kesatuan, yaitu bagian dalam (yang batin, jiwa) dan bagian luar (yang nampak, tubuh). Sebagaimana bentuk (form) adalah tanda mengenai kaitan dan kesatuan struktur hubungan-hubungan maka kesadaran terhadap bentuk akan menjelaskan manifestasi
kesadaran manusia untuk memahami tanda-tanda (ayat) keberadaan dan kelangsungan alam serta semesta ciptaan. Sebagaimana gejala alam yang biasa dicermati oleh seseorang, maka dimensi bentuk pun dalam tradisi seni lukis abstrak mengandung bagian yang tersembunyi, tak nampak, atau tak bisa dikenali secara langsung. Bagi karya-karya Sudrajat, bidang kanvas ibarat hamparan realitas yang mengandung lapisanlapisan tertutup dan tersembunyi, namun sebenarnya ‘siap’ dikuak oleh pandangan kesadaran.
Karya-karya neo-dekolase adalah hasil dari proses pembongkaran ‘lapisan luar’ pada bidang kanvas sehingga memunculkan lapisan lain yang terlihat seolah datang dari arah ‘lapisan dalam’. Pada praktiknya, aksi pembongkaran itu dilakukan melalui benturan atau hentakan yang mampu merontokkan lapisan permukaan lukisan. Pola benturan ini adalah bagian dari pertimbangan kesadaran aksi melukis Sudrajat. Aksi benturan pada bidang lapisan kanvas inilah yang memunculkan makna kejadian atau momen dimana kekuatan yang aktif (ayunan batang rotan) berlaku mengubah penampakan kekuatan yang pasif (lapisan-lapisan bentuk dan warna).
Proyek neo-dekolase memahami kaitan persoalan antara bentuk (form) dengan isi (content) ibarat mengungkap hubungan antara tubuh dan jiwa dalam diri seseorang. Hubungan ini menegaskan bahwa keberadaan keduanya masing-masing saling membutuhkan dan menegaskan maknanya secara keseluruhan. Isi menjadi terpahami karena bentuk, dan bentuk jadi bermakna (memiliki isi) karena mengalami proses formasi dan deformasi terus-menerus melalui momen perjumpaan antara kekuatan ‘dari dalam’ dan ‘dari luar.’ Sebuah lukisan, pada akhirnya, bagi Dadang Sudrajat, adalah soal persaksian terhadap keadaan manusia dan fitrah kemanusiaannya yang sejati hingga mampu menghargai kaitan antara: tubuh dan jiwanya, bentuk dan maknanya, serta eksistensi dan esensi yang sebenarnya.
15 Februari – 3 Maret 2019 Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space Kurator: Rizki Ahmad Zaelani
Pembukaan pameran: Jumat, 15 Februari 2019 19.00 WIB di Bale Tonggoh Dibuka oleh Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto (Pengajar Filsafat Universitas Katolik Parahyangan dan Anggota Dewan Pertimbangan Kuratorial SSAS)
Wicara seniman dan tur pameran: Minggu, 24 Februari 2019 15.00 WIB di Bale Tonggoh Bersama seniman dan kurator…