Bandung Side, Mekar Rahayu – Menangkap ikan merupakan kegiatan yang bisa disebut sebagai pekerjaan, hobi, olahraga atau kegiatan di pinggir atau ditengah danau, laut, sungai dan perairan lainnya. Hasil tangkapan dari aktifitas tersebut dapat digunakan sebagai konsumsi makanan sehari-hari atau hanya untuk kesenangan lalu dilepaskan.
Tradisi menangkap ikan sudah dilakukan sejak dulu kala oleh masyarakat Sunda yang tinggal disekitar aliran sungai bagian dari Kearifan Budaya Lokal. Penangkapan dengan menggunakan setrum dan menggunakan racun harus dijauhi, karena cara tersebut sebagai simbol keserakahan. Cara menangkap ikan dengan tangan kosong atau menggunakan alat sederhana adalah pilihan sadar dan bukan berarti masyarakat Sunda tidak mengenal teknologi.
Ada beberapa istilah menangkap ikan dengan tangan kosong, seperti marak, ngagogo atau kokodok. Sedangkan bila menggunakan alat antara lain disebut kecrik, heurap, bubu, badodon dan nyirip. Alat-alat itu terbuat dari bambu, kain, atau tali nilon.
Untuk lebih dekat dengan tradisi menangkap ikan oleh masyarakat Sunda, Bandung Side berusaha melakukan pendekatan mengetahui arti istilah menangkap ikan tersebut. Marak sebutan menangkap ikan menggunakan tangan dengan cara beramai-ramai. Caranya, aliran sungai dibendung dengan bambu dan tanah. Bagian yang sudah dibendung dinamakan “kombongan”. Air di bagian yang dibendung kemudian dikuras bersama-sama hingga surut. Ikan kemudian ditangkap beramai-ramai. Ikan hasil tangkapan dikumpulkan bersama-sama. Ikan yang terkumpul selanjutnya dibagi secara merata kepada setiap orang yang terlibat sejak membendung, menguras, hingga menangkapi ikan. Bentuk gotong-royong yang unik.
Satu lagi yang menggunakan tangan, Kokodok atau ngagogo adalah istilah menangkap ikan dengan tangan kosong seorang diri. Biasanya dilakukan di sungai-sungai dangkal dengan merogoh lubang yang diduga tempat tinggal ikan dan menangkap ikan di dalamnya.
Adapun aktifitas menangkap ikan dengan menggunakan alat yakni Ngecrik adalah istilah menangkap ikan dengan menggunakan jala kecil yang terbuat dari anyaman benang nilon. Ngecrik biasanya dilakukan di sungai yang mulai surut atau dangkal juga atau dapat dilakukan dipinggir sungai. Ngaheurap adalah menangkap ikan menggunakan heurap yaitu jala berukuran besar. Alat ini biasanya untuk menangkap ikan di bagian yang dalam atau tengah sungai. Bubu adalah alat perangkap ikan terbuat dari bambu yang dianyam agak rapat. Di bagian kepala diberi lubang tempat masuk ikan. Bubu biasa dipasang jika air sungai surut, guna mencegat ikan-ikan yang naik dari hilir ke hulu masuk kedalam bubu.
Sedangkan badodon merupakan bubu yang besar. Tak jarang berukuran sama dengan tubuh manusia dewasa. Biasanya badodon dipasang permanen di suatu tempat di bagian hulu dengan lubang mengarah ke hilir, dengan sasaran adalah ikan-ikan besar. Nguseup atau memancing biasanya dilakukan pada saat musim kemarau, ketika air sungai surut menampakkan warnah jernih. Para pemancing kadang-kadang bermalam di tepi sungai, berharap umpannya disantap ikan untuk makan malamnya.
Nyirip juga sebagai cara untuk menangkap ikan dengan menggunakan alat seperti jala dengan bentuk seperti saringan, tapi jaring diikat pada 4 sudut penyangga yang terbuat dari bambu dengan tiang bambu juga sebagai penyangga. Nyirip dilakukan untuk menangkap ikan dari jala yang diturunkan disungai dalam waktu beberapa lalu diangkat.
Mamat(46th), warga Desa Mekar Rahayu, Kec.Sulaeman mengatakan,”Nyirip ini biasanya menangkap ikan yang lewat saat jala diturunkan tenggelam disungai. Biasanya jala diberi umpan berupa cacing tanah atau apapun untuk mencari perhatian ikan agar terkumpul didaerah jala. Barulah diangkat jika Sirip (nama alat) terasa berat oleh ikan yang banyak”, Minggu (25/11/2018).
Bukan sebagai pekerjaan utama, lanjut Mamat, tapi sebagai hiburan dan mengisi kekosongan waktu usai berkebun disiang hari. “Nyirip ini juga baru-baru ini saya lakukan untuk mencoba apakah Sungai Citarum sudah membaik dan ikan sudah dapat hidup, mengingat beberapa tahun kebelakang pencemaran yang parah membuat ikan banyak yang mati,”ujar Mamat tersenyum.
Tidak beberapa jauh mendekati jembatan Cilampeni yang masih berada diwilayah Sektor 8 Citarum Harum, ada aktifitas memancing. Sebut saja Rosidi (35), warga Desa Sulaeman, Kecamatan Margahayu saat ditegur Bandung Side diantara kesibukannya memperhatikan pengapung jorangnya. “Saya dari pagi memancing, hasilnya lumayan ada ikan lele dan mujair, meskipun tidak banyak cukuplah untuk oleh-oleh orang rumah. Kebetulan hari ini sedang libur kerja sebagai kuli bangunan,”jawab Rosidin datar.
Pola atau cara menangkat ikan dengan cara tersebut diatas pernah dilakukan oleh masyarakat sekitar bantaran Sungai Citarum. Apalagi Sungai Citarum memiliki begitu banyak jenis ikan yang lestari didalamnya. Namun sejak memasuki tahun 1980 sudah menurun aktifitas menangkap ikan tersebut.
Dalam Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 8 Tahun 2008 menyebutkan, pada kurun 1968-1977 terdapat 31 jenis ikan hidup di Waduk Ir H Djuanda, waduk yang membendung Sungai Citarum di Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Tercatat sebanyak 23 jenis di antaranya adalah ikan asli (indigenous species) dan 8 jenis sisanya adalah ikan tebaran atau berasal dari budi daya.
Kejadian yang mencengangkan terjadi saat penelitian tahun 1998-2007 dari 23 jenis ikan asli, hanya ditemukan 9 jenis yakni ikan Hampal (Hampala macrolepidota), Lalawak (Barbodes bramoides), Beunteur (Puntius binotatus), Tagih (Mystus nemurus), Kebogerang (Mystus negriceps), Lais (Lais hexanema), Lele (Clarias bratachus), Lempuk (Callichrous bimaculatus), dan Gabus (Channa striatus). Sementara ikan tebaran, seperti ikan Mas (Cyrpinus carpio) dan Mujair (Oreochromis mosammbicus), cenderung bertahan.
Ikan-ikan yang sudah tidak ditemukan lagi dan diduga kuat punah antara lain Julung-julung (Dermogenys pusillus), Tilan (Macrognathus aculeatus), Tawes (Barbodes gonionotus), Genggehek (Mystacoleucus marginatus), Arengan (Labeo crysophaekadion), Kancra (Tor douronensis), Nilem (Osteochillus hasselti), dan Paray (Rasbora argyrotaenia).
Penyebab dari kepunahan ikan-ikan yang menghuni Sungai Citarum dikarenakan perubahan kontur air Sungai Citarum yang deras menjadi waduk yang berair tenang, hal tersebut dikarenakan terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan serta terjadinya perubahan cuaca ekstrim yang mengakibatkan air Sungai Citarum menjadi surut. Selain itu pencemaran limbah pestisida lahan pertanian, limbah industri dan limbah rumah tangga. Tidak hanya itu, karena banyaknya jenis-jenis ikan yang hilang dapat juga dikarenakan hilangnya berbagai pengetahuan lokal masyarakat tentang ekologi Sungai Citarum, seperti pengetahuan tentang jenis-jenis ikan, kehidupan jenis-jenis ikan, teknik-teknik penangkapan ikan.
Dampak berkurangnya jenis ikan serta keaneka-ragaman hayati yang merupakan bagian dari ekologi sungai dapat merubah ekosistem perairan dan mengurangi fungsi ekohidrologinya. Fungsi pemurnian air secara alami tidak berjalan semestinya karena sebagian jenis ikan dan biota sebagai makanan ikan yang seharusnya ada dalam daur ekohidrologi menjadi berkurang atau hilang diakibatkan pencemaran limbah.
Kenapa harus Sungai Citarum dan anak-anak sungainya yang mengalami sebagai tempat pembuangan limbah industri ? Sebagian besar pencemaran Sungai Citarum berasal dari limbah industri tekstil.
Ajaran leluhur pun menekankan hubungan manusia dengan alam yang saling bergantung. Hal ini tercermin pada pikukuh atau sebagai petunjuk bagi urang Sunda, “Gunung Teu Meunang Dilebur, Lebak Teu Beunang Diruksak, Larangan Teu Meunang dirempak, Buyut Teu Meunang Dirobah, Lojor Teu Meunang Dipotong, Pondok Teu Meunang Disambung, Nu Lain Kudu Dilainkeun, Nu Ulah Kudu Diulahkeun, Nu enya Kudu Dienyakeun.
Artinya, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh diubah, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, bukan harus dianggap bukan, dilarang harus tetap dilarang, benar harus dibenarkan.
Kini ajaran leluhur perlahan luntur, seiring perkembangan jaman dengan tidak menguntungkan. Ajaran leluhur dianggap tidak modern, kuno, jadul dan tidak up to date membuat masyarakat semakin jauh dengan sifat Kearifan Lokal.
Sungai Citarum yang memiliki panjang 269 kilometer, berasal dari hulu yakni Situ Cisanti hingga berakhir dihilir, Kabupaten Karawang dengan melewati 6 Kabupaten, 47 Kecamatan dan 231 desa dengan 10 juta jiwa tergantung padanya sebagai sumber kehidupan. Keberadaan Sungai Citarum begitu erat kaitannya dengan nilai-nilai tinggi kebudayaan. Menurut sejarah, bahwa pada masa Kerajaan Tarumanagara, Sungai Citarum dijadikan sebagai “urat nadi” peradaban. Salah satu karya mengagumkannya adalah cara menangkap ikannya sebagai sumber kehidupan tapi begitu bijak melakukan pola kegiatannya.
Jadi, jangan biarkan Sungai Citarum menderita, sampah dan limbah seakan menutupi tubuhnya yang panjang. Begitu banyak yang hilang bila tonggak peradaban dihapus dengan sampah dan limbah. Salah satunya yang hampir punah yakni cara menangkat ikan, dan jenis ikan endemik Sungai Citarum yang sudah mulai musnah. Masihkah kita disebut sebagai manusia berbudaya dan beradab ?. ***