Mega proyek pembangunan PLTA Upper Cisokan senilai 765 juta dolar Amerika, masih menuai masalah dengan warga. Terindikasi hingga saat ini masih ada proses hukum dengan warga berlangsung di PTUN Bandung, PLN diduga telah menduduki lahan sengketa dengan membangun akses jalan.
Pembangunan PLTA Upper Cisokan menelan anggaran sebesar 765 juta dolar Amerika, dengan perician 638 juta dolar Amerika dari bantuan World Bank, 20 juta dolar Amerika dari pemerintah pusat, dan 107 juta dolar Amerika dari PT PLN.
Roedy Wiranatakusumah,SH.,MH.,MBA, kuasa hukum warga mengatakan bahwa proyek pembangunan PLTA Upper Cisokan itu akan menggenani lahan seluas 804,64 hektare. Lahan itu tersebar di Kecamatan Rongga yang meliputi ada tiga desa yaitu Desa Bojongsalam, Sukaresmi, dan Desa Cicadas.
Sedangkan daerah tergenang di Kabupaten Cianjur meliputi Kecamatan Cibeber dan Kecamatan Bojongpicung. Salah satu warga Desa Sukaresmi bernama Sulton adalah ahli waris Alm.Sanusi pemilik tanah dengan sertifikat hak milik No.1 Tahun 1982 atas nama Sanusi yang diterbitkan oleh BPN Kabupaten Bandung, Luas tanah 5130m2. Melalui kuasa hukumnya, Roedy mengatakan bahwa Sulton, tidak pernah menjual lahannya ke PLN untuk access road proyek Upper Cisokan. Namun, pada Februari 2015, kliennya menjadi tergugat II intervensi di Pengadilan Tata Usaha Negara, Bandung. Status itu, lanjut Roedy, berdasarkan gugatan warga bernama Mumun yang mengaku sebagai pemilik lahan yang sama dan telah mendapatkan uang dari transaksi penjualan dengan pihak PLN berdasarkan perintah bayar Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Pemerintah Kabupaten Bandung Barat Nomer 239/P2T/2013 tertanggal 23 Desember 2013.
Sejak berjalannya proses di Pengadilan Tata Usaha Negara, Bandung maka status tanah milik Sulton merupakan objek sengketa. Namun, setelah mengalami kekalahan di PTUN Bandung, kasus berlanjut ke tingkat banding.
“Hanya saja, selama proses banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, PLN telah melakukan pembangunan akses jalan di atas lahan sengketa, menurut Undang-undang Dasar 1945 pasal 28H ayat(4) menyatakan, setiap orang juga berhak mempunyai hak pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun” ungkap Roedy saat temu wartawan di kafe Kalimasada Jalan Kalimantan Bandung, Selasa (22/11).
Padahal, berdasarkan peraturan yang berlaku, sangat tidak diperkenankan untuk dilakukan pembangunan dan hal itu merupakan perbuatan melawan hukum. “PLN secara fakta telah melakukan penyerobotan tanah dan memperlihatkan ketidakpahaman hukum atas kasus yang terjadi,”papar Roedy.
“Pada tanggal 16 Juni 2016 hasil putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 160K/TUN/2016 telah dimenangkan oleh Sulton. Berdasarkan putusan tersebut pada tanggal 11 Oktober 2016 melalui Kuasa Hukum, Sulton memasang portal dan plang di atas tanah miliknya,” ucap Roedy lebih lanjut.
Namun, jelas Roedy, selang 4 hari dari pemasangan plang datang sejumlah petugas PLN, apartur pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Brimob Jabar dengan senjata laras panjang datang ke lokasi tanah milik ahli waris Sanusi (Sulton) dan memaksa membongkar portal serta plang bahkan mengusir keluarga ahli waris dan warga yang pada saat itu sedang berjaga. Salah satu warga yang sempat mengambil foto dan video pada saat kejadian tersebut sempat diintimidasi oleh anggota Brimob dan diminta untuk memberikan ponselnya. Hal ini membuat warga tersebut ketakutan dan tertekan secara psikis.
“Kejadian itu tentu saja merupakan perbuatan melawan hukum terhadap putusan Mahkamah Agung RI yang memiliki kekuatan hukum tetap. PLN memperlihatkan sifat arogansinya dengan memposisikan instansinya berada di atas hukum dan mengingkari pernyataanya sendiri melalui surat ditujukan kepada Sulton tertanggal 13 Mei 2016 ditanda tangani oleh Moch. Hasmanto, PLH General Manager PLN Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah I (Manager Bidang Perencanaan), yang isinya menyatakan bahwa apabila putusan permohonan kasasi pihak Mumun dkk tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung, maka PLN akan meminta pemohon pihak kasasi harus mengembalikan pembayaran ganti rugi kepada PLN dan akan disampaikan secara hukum kepada sdr. Sulton selaku ahli waris dari Alm. Sanusi,” papar Roedy.
Menurut Roedy, dalam hal ini disinyalir PLN melakukan penyalahgunaan uang negara dalam proses pembelian tanah warga untuk proyek Upper Cisokan Pump Storage yang merupakan proyek negara terbesar di ASEAN. Pelanggaran hukum yang masih terjadi hingga kini ialah masih terdapat tanah warga yang belum dibayar dan telah dirusak untuk pembangunan access road.
“Indikasi korupsi dan pelanggaran hak azasi manusia dalam proyek Upper Cisokan sudah menjadi rahasia umum dan salah satu warga pernah mengirim surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi tentang apa yang terjadi dan di alami warga. Sebagai informasi tambahan bahwa pihak ahli waris (Sulton) telah melaporkan Mumun dkk. ke Polda Jabar atas tindakan pemalsuan dokumen kepemilikan tanah dan beberapa dokumen lainnya,” pungkas Roedy Wiranatakusumah.***